Friday, August 27, 2010

Pledoi Seorang Calon Dokter

Beberapa hari yang lalu, saya membaca sebuah artikel yang dibawa oleh teman saya. Artikel yang bernada nyinyir tentang kami, para co-ass, yang ditulis oleh seseorang di daerah Jawa Tengah. Dari nada tulisannya, penulis artikel tersebut tampak memiliki pengalaman kurang baik dengan para co-ass di sebuah fakultas kedokteran negeri ternama di Jawa Tengah.

Saya mencoba mengerti apa yang penulis rasakan. Saya mencoba melihat hal-hal yang penulis soroti dari kacamata dia, seorang awam. Namun, sungguh, saya tetap tidak mampu mengerti mengapa hal itu menjadi suatu dasar yang kuat bagi si penulis untuk menjelek-jelekkan co-ass. Saya tidak menyebut secara spesifik co-ass di Jawa Tengah karena dari tulisan artikelnya, yang berjudul "Sombongnya Para Dokter Muda Itu", penulis tampak mengecap semua co-ass dengan cap negatif yang sama dan oleh karenanya saya ikut tersinggung.

Beberapa penggalan artikelnya yang saya ingat dan saya jadikan lelucon dengan teman-teman saya adalah, "Mereka, para dokter muda yang mengenakan jas putih dan menggenggam Blackberry, berseliweran beberapa kali, dan tidak memperdulikan seorang nenek tua yang sudah menunggu lama", "Tampak mereka sebagai kelompok yang eksklusif dan hanya mau berhubungan dengan orang yang sekelasnya", "Karenanya, saya lebih bersimpati pada dokter-dokter tua, yang sudah berpengalaman dan rendah hati". Bagian-bagian yang saya cetak tebal, adalah hal yang menurut saya lucu. Saya seperti melihat ada suatu kecemburuan sosial yang penulis rasakan, yang tersirat dari tulisannya.

Mengapa saya bilang hal-hal tersebut lucu? Mungkin sebagian dari Anda yang membaca tulisan saya dan tidak tahu apa yang kami hadapi di balik jas putih yang membungkus kami, tidak mengerti di mana letak lucunya. Atau bahkan Anda merupakan orang-orang yang setuju dengan pernyataan penulis tersebut. Oleh karena itu, saya akan memaparkan apa yang saya alami untuk menanggapi hal-hal yang penulis soroti itu.

Pertama, penulis menyoroti mengenai jas putih yang kami kenakan. Saya sempat membaca tanggapan dari seorang sejawat di sana, "Kalau tidak mengenakan jas putih, memangnya Anda berharap kami mengenakan baju batik?". Saya tertawa membaca tanggapan ini, namun merasakan kejengkelannya kepada penulis artikel itu, betapa si penulis terlalu mencari-cari. Perlu diketahui bahwa jas putih ini hanyalah sebagai penanda bahwa kami (calon) dokter yang bekerja dan belajar di sana, bukan perawat yang Anda panggil, "Sus", "Mas", "Mbak", ataupun panggilan yang lain. Namun, seringkali pasien bingung membedakan kami di antara petugas rumah sakit yang lain, sehingga memanggil dengan sebutan-sebutan tersebut. Saya pribadi tidak masalah dengan panggilan tersebut, toh saya memang belum menjadi dokter dan perlu diketahui, bahwa panggilan "Dok" merupakan sesuatu yang menjadi beban tersendiri bagi saya. Pengingat akan profesi yang akan saya tekuni, profesi yang diharapkan memiliki kemampuan lebih oleh masyarakat pada umumnya. Kalau saya mau jujur, jas putih ini bukan suatu yang membanggakan, ini adalah suatu beban yang kami bawa, penanda bahwa kami (calon) dokter, pengingat bahwa kami harus menjaga perilaku kami di hadapan pasien -terbukti dengan penulis yang segera mencela kelakuan co-ass karena apa yang dia lihat pada kami, kelompok berjas putih ini-. Jas putih ini menuntut kesempurnaan kami padahal kami hanyalah manusia biasa yang sedang belajar. Tahukah Anda bahwa setiap saat kami terancam konduite jika dianggap berperilaku yang tidak berkenan di hati para guru-guru kami (dokter-dokter senior) oleh karena jas putih ini? Pernahkah Anda mengenakan seragam kantor Anda dan merasakan beban yang sama?

Kedua, mengenai Blackberry, mengapa penulis merasa perlu menyebutkan merek? Untuk menunjukkan kesenjangan sosial kah? Saya kira banyak handheld lain yang lebih mahal dari Blackberry dan saya ingin bertanya, apakah penulis akan menyoroti hal itu jika yang menggenggamnya adalah kelompok orang-orang yang tidak berjas putih? Toh, sudah banyak orang yang menggunakan BB, bahkan saudara sepupu saya yang masih SD pun sudah memilikinya. Kalaupun ada yang membeli BB dan mengikuti trend, saya kira itu hal yang wajar, beberapa orang memang memiliki kecenderungan konsumtif seperti itu. Namun, secara fungsi, BB jelas bisa menjadi solusi untuk mengurangi biaya komunikasi antarsejawat di rumah sakit. Tahukah Anda bahwa kami memiliki kewajiban untuk mengkonsulkan pasien yang kami terima? Tahukah Anda bahwa kami harus membuat janji dengan dokter senior A, B, C untuk mendapat bimbingan dan mengirimkan pesan pendek dianggap salah satu bentuk komunikasi yang tidak sopan? Coba Anda hitung-hitung, bila kami menerima 10 pasien saja sehari untuk masing-masing orang, yang harus kami laporkan kepada senior kami, dengan durasi pembicaraan masing-masing 10-20 menit, berapakah biaya yang harus kami keluarkan tiap hari? Kemudian kalikanlah dengan jumlah hari efektif sebulan, tambahkan dengan empat hari sebagai perkiraan jumlah jaga malam minimal kami tiap bulan. Berapa angka yang Anda dapat? Dengan adanya BBM, biaya itu sedikit terpangkas karena kami dapat berkomunikasi menggunakan fasilitas itu dengan teman sejawat.

Kemudian mengenai eksklusif dan kelas sosial, memangnya penulis meletakkan kami dalam lingkup yang mana? Apakah semua (calon) dokter adalah kumpulan orang-orang berkantong tebal? Apakah penulis berpikir kami membentuk kelas tersendiri dan tidak mau berbaur dengan masyarakat karena penulis melihat kelompok co-ass itu berjalan bergerombol? Saya kira wajar jika seseorang nyaman berbicara dalam kelompoknya bukan? Kami diajarkan untuk memiliki empati, mampu meraba rasakan apa yang dirasakan pasien. Jadi, saya kira adalah tidak mungkin kami menginginkan duduk di kelas sosial tertentu untuk menjadi seorang dokter yang baik. Buang jauh-jauh pikiran bahwa belajar di kedokteran itu hanya berkutat dengan textbook yang tebal. Saya kira semua orang mampu mempelajari buku-buku kedokteran, tidak ada yang istimewa dari buku-buku itu selain ketebalannya. Namun, menjadi dokter bukan mengobati penyakit yang tertera di buku, melainkan apa yang ada pada pasien. Pernahkah penulis membayangkan menampung air kencing orang lain yang entah siapa, membantu membersihkan muntahannya, tidak tidur semalaman untuk mengawasi kondisi seseorang yang entah siapa? Belum lagi ketika setelah melakukan semuanya itu, terkadang harus menghadapi omelan perawat, omelan keluarga pasien, dan bahkan terkadang disuruh ini itu yang bukan menjadi kewajiban seorang co-ass. Apakah itu adalah suatu bentuk yang dikatakan penulis sebagi eksklusifitas dan menempatkan diri pada kelas sosial tersendiri?

Apakah penulis berpikir bahwa kami hanya berseliweran untuk melihat-lihat dan berlagak bak model di atas catwalk? Kami memiliki jadwal bimbingan yang harus dipenuhi selain harus belajar dengan menangani kasus secara langsung. Dalam satu putaran di bagian tertentu, kami memiliki jadawal untuk berada di tempat-tempat tertentu; entah di unit rawat jalan (poliklinik), kamar operasi, ruang rawat inap, ataupun berdiskusi di ruang belajar. Jadi, mungkin itu yang penulis lihat sebagai berseliweran. Mungkin penulis bisa memberikan solusi jadwal belajar yang baik untuk kami agar kami tak perlu berseliweran?

Mengenai kepedulian. Mungkin penulis berpikir demikian karena kasihan dengan nenek tua yang sudah menunggu lama dan berusaha mendramatisir keadaan dengan memilih si nenek tua sebagai contoh. Penulis mungkin perlu tahu, bahwa yang memanggil urutan masuk adalah perawat atau petugas bagian administrasi. Mungkin nenek tua itu datang terlalu siang ketika mendaftar ke loket, sehingga harus menunggu lama. Sebagai contoh saja, untuk bertugas di unit rawat jalan, kami wajib datang pukul setengah delapan, sementara jam buka pelayanan adalah jam delapan. Untuk menjadi pasien yang bisa dipanggil awal, seorang pasien pernah bercerita bahwa dia datang sejak pukul setengah enam pagi. Sudahkah penulis tersebut menanyakan pukul berapa nenek tersebut datang dan mendaftar di loket pelayanan? Saya kira sistem tidak mengenal umur untuk mengatur urutan masuk, siapa yang datang dan mendaftar lebih dulu, maka dia akan mendapat pelayanan lebih dulu. Mengenai lamanya pemeriksaan, saya akan mencoba menjelaskan. Jumlah minimal pasien di unit rawat jalan tiap-tiap bagian dalam sehari adalah 50 pasien. Bilik periksa yang tersedia untuk tiap bagian adalah sekitar dua sampai enam bilik, tergantung pada tiap bagian. Di bagian dimana dokter muda diperbolehkan memeriksa pasien -beberapa bagian tidak mengizinkan- terdapat urutan pemeriksaan sebagai berikut, pengukuran tanda vital tubuh (nadi, tekanan darah, respiratory rate, suhu tubuh), anamnesis/wawancara, dan pemeriksaan fisik. Setelah selesai, hasil pemeriksaan dilaporkan kepada residen (dokter yang sedang mengambil spesialisasi). Jika kasus dirasakan sulit, dikonsulkan kepada chief yang bertugas. Kemungkinan, pasien akan diperiksa kembali untuk meyakinkan hal-hal yang dirasa kurang sesuai dengan diagnosis yang dipikirkan. Jika dirasa masih rancu, konsul akan dilanjutkan kepada dokter senior (supervisor unit rawat jalan). Jadi, hal itulah yang membuat pelayanan menjadi lebih lama dibandingkan dengan berobat ke unit rawat jalan milik swasta.

Karena enggan diperiksa berkali-kali, pasien kemudian tidak mau diperiksa oleh dokter muda. Saya mengerti perasaan mereka, tapi saya jadi berpikir kalau begitu mengapa tidak berobat ke klinik swasta? Alasan biaya kah? Kalau begitu, terpaksa pasien harus menerima sistem pelayanan yang seperti ini. Toh, waktu pelayanan akan tetap lebih lama jika kami tidak ikut memeriksa karena jumlah dokter dan pasien yang tidak sebanding. Selain itu, saya ingin penulis mencoba berpikir bahwa bagaimanapun seorang dokter senior, yang disebut dokter-dokter tua oleh penulis, pasti pernah menjadi dokter muda. Jika dokter muda tidak pernah bersentuhan dengan pasien, bagaimana kami akan menjadi dokter yang baik? Penulis sendiri mengatakan bahwa dokter-dokter senior itu sarat pengalaman. Bukankah pengalaman didapat dengan melakukan? Penulis seolah mengatakan menjadi dokter adalah keajaiban, tiba-tiba menjadi ahli dan terampil. Pernahkah penulis itu menanyakan berapa lama dokter tersebut menekuni profesinya? Jelas berbeda tangan seorang dokter muda yang baru memeriksa sekian puluh pasien dengan tangan seorang dokter bergelar profesor yang telah memeriksa ribuan pasien.

Penulis juga menyiratkan bahwa dia mengharapkan dokter muda bersikap lebih ramah kepada pasien. Ya, kami memang memiliki kewajiban untuk ramah kepada pasien, menjalin sambung rasa yang baik. Namun, tidak berarti bahwa kami harus menyapa tiap-tiap pasien yang duduk di ruang tunggu kan? Tanpa kami melakukannya pun, waktu pelayanan sudah dikeluhkan lama oleh penulis, apakah terbayang di benaknya jika dokter dan para co-ass sibuk menyapa pasien dan bukan memberikan pelayanan pemeriksaan? Waktu pelayanan akan menjadi lebih singkat kah? Kami diajarkan untuk berempati, bukan bersimpati. Kami diajarkan untuk menentukan skala prioritas dalam menghadapi permasalahan, dan menurut saya ada hal yang lebih penting untuk dilakukan daripada menyapa satu per satu pasien di ruang tunggu.

Akhir kata, saya hanya ingin mengingatkan penulis artikel tersebut bahwa kami, yang berjas putih dan sebagian menggenggam Blackberry ini :P , hanyalah manusia biasa. Kami memiliki kebutuhan untuk berkomunikasi dengan teman-teman kami. Kami juga tak luput dari permasalahan kami sendiri, sementara kami harus tetap beramah tamah dengan pasien. Kami juga terkadang bercanda di antara kami untuk menghilangkan sejenak beban belajar kami, sementara penulis mungkin tidak berkenan dengan itu. Cobalah penulis sejenak memandangnya dari sudut pandang kami, bagaimanakah rasanya? Sanggupkah penulis memperbaiki hal-hal yang menjadi kritiknya? Mungkin penulis silau dengan jas putih yang kami kenakan, lupa bahwa di dalamnya hanyalah pribadi manusia biasa yang memiliki kebutuhan untuk dipandang layaknya manusia biasa. Percayalah, sebelum mengenakan jas putih ini, kami telah berjanji satu hal yang pokok dan kami selalu memegang janji itu, "Kepentingan penderita adalah hal yang utama". Kami telah berjanji untuk mengutamakan orang lain, bisakah penulis membiarkan kami berproses dan belajar untuk menerapkannya?

No comments:

Post a Comment