Tuesday, September 7, 2010

Opini

Sebuah perguruan tinggi negeri yang cukup ternama di kota yang menyebut dirinya metropolis. Memiliki reputasi yang baik dengan tenaga pengajar yang harusnya terbaik di kota ini. Fasilitas pun seharusnya cukup. Namun kenyataannya? Bahkan untuk mendapatkan transkrip nilai, yang di kampus lain menjadi hak mahasiswa, harus mengajukan surat permohonan tertulis. Website pun kurang bisa menunjang kepentingan mahasiswanya. Ketika universitas lain memungkinkan mahasiswanya mengecek jadwal kuliah, hasil nilai, ataupun memasukkan daftar mata kuliah yang akan diambil, website kampus ini hanya menampilkan informasi seputar kegiatan di kampus. Hal ini sangat disayangkan mengingat pentingnya teknologi informasi di zaman sekarang ini, terlebih bagi mahasiswa yang berasal dari luar kota. Seharusnya fasilitas website kampus dapat digunakan sebagai sarana informasi mengenai jadwal perkuliahan, jadwal yudisium, pendaftaran ulang, dan sebagainya. Haruskah kampus yang memiliki reputasi demikian baik, informasi akademisnya harus bergantung pada teknologi komunikasi paling dasar (mulut ke mulut)?

*hanya seorang mahasiswa yang mempertanyakan*

Friday, August 27, 2010

Pledoi Seorang Calon Dokter

Beberapa hari yang lalu, saya membaca sebuah artikel yang dibawa oleh teman saya. Artikel yang bernada nyinyir tentang kami, para co-ass, yang ditulis oleh seseorang di daerah Jawa Tengah. Dari nada tulisannya, penulis artikel tersebut tampak memiliki pengalaman kurang baik dengan para co-ass di sebuah fakultas kedokteran negeri ternama di Jawa Tengah.

Saya mencoba mengerti apa yang penulis rasakan. Saya mencoba melihat hal-hal yang penulis soroti dari kacamata dia, seorang awam. Namun, sungguh, saya tetap tidak mampu mengerti mengapa hal itu menjadi suatu dasar yang kuat bagi si penulis untuk menjelek-jelekkan co-ass. Saya tidak menyebut secara spesifik co-ass di Jawa Tengah karena dari tulisan artikelnya, yang berjudul "Sombongnya Para Dokter Muda Itu", penulis tampak mengecap semua co-ass dengan cap negatif yang sama dan oleh karenanya saya ikut tersinggung.

Beberapa penggalan artikelnya yang saya ingat dan saya jadikan lelucon dengan teman-teman saya adalah, "Mereka, para dokter muda yang mengenakan jas putih dan menggenggam Blackberry, berseliweran beberapa kali, dan tidak memperdulikan seorang nenek tua yang sudah menunggu lama", "Tampak mereka sebagai kelompok yang eksklusif dan hanya mau berhubungan dengan orang yang sekelasnya", "Karenanya, saya lebih bersimpati pada dokter-dokter tua, yang sudah berpengalaman dan rendah hati". Bagian-bagian yang saya cetak tebal, adalah hal yang menurut saya lucu. Saya seperti melihat ada suatu kecemburuan sosial yang penulis rasakan, yang tersirat dari tulisannya.

Mengapa saya bilang hal-hal tersebut lucu? Mungkin sebagian dari Anda yang membaca tulisan saya dan tidak tahu apa yang kami hadapi di balik jas putih yang membungkus kami, tidak mengerti di mana letak lucunya. Atau bahkan Anda merupakan orang-orang yang setuju dengan pernyataan penulis tersebut. Oleh karena itu, saya akan memaparkan apa yang saya alami untuk menanggapi hal-hal yang penulis soroti itu.

Pertama, penulis menyoroti mengenai jas putih yang kami kenakan. Saya sempat membaca tanggapan dari seorang sejawat di sana, "Kalau tidak mengenakan jas putih, memangnya Anda berharap kami mengenakan baju batik?". Saya tertawa membaca tanggapan ini, namun merasakan kejengkelannya kepada penulis artikel itu, betapa si penulis terlalu mencari-cari. Perlu diketahui bahwa jas putih ini hanyalah sebagai penanda bahwa kami (calon) dokter yang bekerja dan belajar di sana, bukan perawat yang Anda panggil, "Sus", "Mas", "Mbak", ataupun panggilan yang lain. Namun, seringkali pasien bingung membedakan kami di antara petugas rumah sakit yang lain, sehingga memanggil dengan sebutan-sebutan tersebut. Saya pribadi tidak masalah dengan panggilan tersebut, toh saya memang belum menjadi dokter dan perlu diketahui, bahwa panggilan "Dok" merupakan sesuatu yang menjadi beban tersendiri bagi saya. Pengingat akan profesi yang akan saya tekuni, profesi yang diharapkan memiliki kemampuan lebih oleh masyarakat pada umumnya. Kalau saya mau jujur, jas putih ini bukan suatu yang membanggakan, ini adalah suatu beban yang kami bawa, penanda bahwa kami (calon) dokter, pengingat bahwa kami harus menjaga perilaku kami di hadapan pasien -terbukti dengan penulis yang segera mencela kelakuan co-ass karena apa yang dia lihat pada kami, kelompok berjas putih ini-. Jas putih ini menuntut kesempurnaan kami padahal kami hanyalah manusia biasa yang sedang belajar. Tahukah Anda bahwa setiap saat kami terancam konduite jika dianggap berperilaku yang tidak berkenan di hati para guru-guru kami (dokter-dokter senior) oleh karena jas putih ini? Pernahkah Anda mengenakan seragam kantor Anda dan merasakan beban yang sama?

Kedua, mengenai Blackberry, mengapa penulis merasa perlu menyebutkan merek? Untuk menunjukkan kesenjangan sosial kah? Saya kira banyak handheld lain yang lebih mahal dari Blackberry dan saya ingin bertanya, apakah penulis akan menyoroti hal itu jika yang menggenggamnya adalah kelompok orang-orang yang tidak berjas putih? Toh, sudah banyak orang yang menggunakan BB, bahkan saudara sepupu saya yang masih SD pun sudah memilikinya. Kalaupun ada yang membeli BB dan mengikuti trend, saya kira itu hal yang wajar, beberapa orang memang memiliki kecenderungan konsumtif seperti itu. Namun, secara fungsi, BB jelas bisa menjadi solusi untuk mengurangi biaya komunikasi antarsejawat di rumah sakit. Tahukah Anda bahwa kami memiliki kewajiban untuk mengkonsulkan pasien yang kami terima? Tahukah Anda bahwa kami harus membuat janji dengan dokter senior A, B, C untuk mendapat bimbingan dan mengirimkan pesan pendek dianggap salah satu bentuk komunikasi yang tidak sopan? Coba Anda hitung-hitung, bila kami menerima 10 pasien saja sehari untuk masing-masing orang, yang harus kami laporkan kepada senior kami, dengan durasi pembicaraan masing-masing 10-20 menit, berapakah biaya yang harus kami keluarkan tiap hari? Kemudian kalikanlah dengan jumlah hari efektif sebulan, tambahkan dengan empat hari sebagai perkiraan jumlah jaga malam minimal kami tiap bulan. Berapa angka yang Anda dapat? Dengan adanya BBM, biaya itu sedikit terpangkas karena kami dapat berkomunikasi menggunakan fasilitas itu dengan teman sejawat.

Kemudian mengenai eksklusif dan kelas sosial, memangnya penulis meletakkan kami dalam lingkup yang mana? Apakah semua (calon) dokter adalah kumpulan orang-orang berkantong tebal? Apakah penulis berpikir kami membentuk kelas tersendiri dan tidak mau berbaur dengan masyarakat karena penulis melihat kelompok co-ass itu berjalan bergerombol? Saya kira wajar jika seseorang nyaman berbicara dalam kelompoknya bukan? Kami diajarkan untuk memiliki empati, mampu meraba rasakan apa yang dirasakan pasien. Jadi, saya kira adalah tidak mungkin kami menginginkan duduk di kelas sosial tertentu untuk menjadi seorang dokter yang baik. Buang jauh-jauh pikiran bahwa belajar di kedokteran itu hanya berkutat dengan textbook yang tebal. Saya kira semua orang mampu mempelajari buku-buku kedokteran, tidak ada yang istimewa dari buku-buku itu selain ketebalannya. Namun, menjadi dokter bukan mengobati penyakit yang tertera di buku, melainkan apa yang ada pada pasien. Pernahkah penulis membayangkan menampung air kencing orang lain yang entah siapa, membantu membersihkan muntahannya, tidak tidur semalaman untuk mengawasi kondisi seseorang yang entah siapa? Belum lagi ketika setelah melakukan semuanya itu, terkadang harus menghadapi omelan perawat, omelan keluarga pasien, dan bahkan terkadang disuruh ini itu yang bukan menjadi kewajiban seorang co-ass. Apakah itu adalah suatu bentuk yang dikatakan penulis sebagi eksklusifitas dan menempatkan diri pada kelas sosial tersendiri?

Apakah penulis berpikir bahwa kami hanya berseliweran untuk melihat-lihat dan berlagak bak model di atas catwalk? Kami memiliki jadwal bimbingan yang harus dipenuhi selain harus belajar dengan menangani kasus secara langsung. Dalam satu putaran di bagian tertentu, kami memiliki jadawal untuk berada di tempat-tempat tertentu; entah di unit rawat jalan (poliklinik), kamar operasi, ruang rawat inap, ataupun berdiskusi di ruang belajar. Jadi, mungkin itu yang penulis lihat sebagai berseliweran. Mungkin penulis bisa memberikan solusi jadwal belajar yang baik untuk kami agar kami tak perlu berseliweran?

Mengenai kepedulian. Mungkin penulis berpikir demikian karena kasihan dengan nenek tua yang sudah menunggu lama dan berusaha mendramatisir keadaan dengan memilih si nenek tua sebagai contoh. Penulis mungkin perlu tahu, bahwa yang memanggil urutan masuk adalah perawat atau petugas bagian administrasi. Mungkin nenek tua itu datang terlalu siang ketika mendaftar ke loket, sehingga harus menunggu lama. Sebagai contoh saja, untuk bertugas di unit rawat jalan, kami wajib datang pukul setengah delapan, sementara jam buka pelayanan adalah jam delapan. Untuk menjadi pasien yang bisa dipanggil awal, seorang pasien pernah bercerita bahwa dia datang sejak pukul setengah enam pagi. Sudahkah penulis tersebut menanyakan pukul berapa nenek tersebut datang dan mendaftar di loket pelayanan? Saya kira sistem tidak mengenal umur untuk mengatur urutan masuk, siapa yang datang dan mendaftar lebih dulu, maka dia akan mendapat pelayanan lebih dulu. Mengenai lamanya pemeriksaan, saya akan mencoba menjelaskan. Jumlah minimal pasien di unit rawat jalan tiap-tiap bagian dalam sehari adalah 50 pasien. Bilik periksa yang tersedia untuk tiap bagian adalah sekitar dua sampai enam bilik, tergantung pada tiap bagian. Di bagian dimana dokter muda diperbolehkan memeriksa pasien -beberapa bagian tidak mengizinkan- terdapat urutan pemeriksaan sebagai berikut, pengukuran tanda vital tubuh (nadi, tekanan darah, respiratory rate, suhu tubuh), anamnesis/wawancara, dan pemeriksaan fisik. Setelah selesai, hasil pemeriksaan dilaporkan kepada residen (dokter yang sedang mengambil spesialisasi). Jika kasus dirasakan sulit, dikonsulkan kepada chief yang bertugas. Kemungkinan, pasien akan diperiksa kembali untuk meyakinkan hal-hal yang dirasa kurang sesuai dengan diagnosis yang dipikirkan. Jika dirasa masih rancu, konsul akan dilanjutkan kepada dokter senior (supervisor unit rawat jalan). Jadi, hal itulah yang membuat pelayanan menjadi lebih lama dibandingkan dengan berobat ke unit rawat jalan milik swasta.

Karena enggan diperiksa berkali-kali, pasien kemudian tidak mau diperiksa oleh dokter muda. Saya mengerti perasaan mereka, tapi saya jadi berpikir kalau begitu mengapa tidak berobat ke klinik swasta? Alasan biaya kah? Kalau begitu, terpaksa pasien harus menerima sistem pelayanan yang seperti ini. Toh, waktu pelayanan akan tetap lebih lama jika kami tidak ikut memeriksa karena jumlah dokter dan pasien yang tidak sebanding. Selain itu, saya ingin penulis mencoba berpikir bahwa bagaimanapun seorang dokter senior, yang disebut dokter-dokter tua oleh penulis, pasti pernah menjadi dokter muda. Jika dokter muda tidak pernah bersentuhan dengan pasien, bagaimana kami akan menjadi dokter yang baik? Penulis sendiri mengatakan bahwa dokter-dokter senior itu sarat pengalaman. Bukankah pengalaman didapat dengan melakukan? Penulis seolah mengatakan menjadi dokter adalah keajaiban, tiba-tiba menjadi ahli dan terampil. Pernahkah penulis itu menanyakan berapa lama dokter tersebut menekuni profesinya? Jelas berbeda tangan seorang dokter muda yang baru memeriksa sekian puluh pasien dengan tangan seorang dokter bergelar profesor yang telah memeriksa ribuan pasien.

Penulis juga menyiratkan bahwa dia mengharapkan dokter muda bersikap lebih ramah kepada pasien. Ya, kami memang memiliki kewajiban untuk ramah kepada pasien, menjalin sambung rasa yang baik. Namun, tidak berarti bahwa kami harus menyapa tiap-tiap pasien yang duduk di ruang tunggu kan? Tanpa kami melakukannya pun, waktu pelayanan sudah dikeluhkan lama oleh penulis, apakah terbayang di benaknya jika dokter dan para co-ass sibuk menyapa pasien dan bukan memberikan pelayanan pemeriksaan? Waktu pelayanan akan menjadi lebih singkat kah? Kami diajarkan untuk berempati, bukan bersimpati. Kami diajarkan untuk menentukan skala prioritas dalam menghadapi permasalahan, dan menurut saya ada hal yang lebih penting untuk dilakukan daripada menyapa satu per satu pasien di ruang tunggu.

Akhir kata, saya hanya ingin mengingatkan penulis artikel tersebut bahwa kami, yang berjas putih dan sebagian menggenggam Blackberry ini :P , hanyalah manusia biasa. Kami memiliki kebutuhan untuk berkomunikasi dengan teman-teman kami. Kami juga tak luput dari permasalahan kami sendiri, sementara kami harus tetap beramah tamah dengan pasien. Kami juga terkadang bercanda di antara kami untuk menghilangkan sejenak beban belajar kami, sementara penulis mungkin tidak berkenan dengan itu. Cobalah penulis sejenak memandangnya dari sudut pandang kami, bagaimanakah rasanya? Sanggupkah penulis memperbaiki hal-hal yang menjadi kritiknya? Mungkin penulis silau dengan jas putih yang kami kenakan, lupa bahwa di dalamnya hanyalah pribadi manusia biasa yang memiliki kebutuhan untuk dipandang layaknya manusia biasa. Percayalah, sebelum mengenakan jas putih ini, kami telah berjanji satu hal yang pokok dan kami selalu memegang janji itu, "Kepentingan penderita adalah hal yang utama". Kami telah berjanji untuk mengutamakan orang lain, bisakah penulis membiarkan kami berproses dan belajar untuk menerapkannya?

Sunday, August 22, 2010

Sambungannya Terganggu Kayanya

Di koridor rumah sakit lantai II

A: "Ayo berangkat ke saraf, ntar kelamaan tunggu-tungguan" *mengajak C*
C: "Ayo wis"
B: "Aku juga ikut...Aku juga mau ke sana"

A, B, C menuruni tangga ke lantai I. B tiba-tiba berbelok ke arah yang berbeda.

C: "Kamu mau ke mana? Saraf kan arahnya ke situ?"
B: "Lho? Kalian mau ke Urika kan?"
A: *tak mampu berkata-kata*
C: "Lha, tadi kamu bilang mau ke sana juga tu ke mana? Lha kita mau ke saraf kok bilangnya"
B: "Aku nyambungnya kalian mau ke Urika"

A dan C merasa B perlu diperiksakan sekalian ke saraf.

Pasti Bandengnya Bule

Suatu siang di kantin Rumah Sakit.
A: "Kamu makan apa?"
B: "Nasi goreng putih"
A: "Lho? Tadi aku mau pesen itu kata ibunya gak jual gitu"
B: "He?! Aku pesen itu kok. Ada tuh" *nada yakin*

Maka DM A menghampiri si ibu

A: "Bu, nasi gorengnya ada ya? Temen saya katanya pesen itu"
Ibu: *menatap dengan wajah bingung* "Temennya tadi pesen bandeng gitu?"

B tiba-tiba datang menghampiri

B: "Iya seh, aku pesen bandeng tadi. Mau pesen nasi goreng gak ada, makanya pesen bandeng"

Jangan-jangan selama ini si B makan bandeng goreng putih? Bandeng bule :P

Tuesday, August 17, 2010

Timbal Balik

Hargailah orang lain seperti kamu ingin dihargai. Mengertilah, sebelum kamu meminta dimengerti. Bisa membayangkan kalau setiap individu dengan sadar melakukan hal tersebut? Saya kira segala perselisihan atau pertengkaran bisa diminimalkan dan dunia akan menjadi lebih damai.

Hubungan antar manusia itu katanya horizontal. Berada pada satu garis lurus, menyetarakan makhluk hidup yang berjudul manusia dalam satu tingkatan derajat yang sama, tanpa embel-embel harta ataupun takhta. Juga bagaikan arus listrik AC, interaksi antar manusia ini menimbulkan arus bolak-balik. A akan merespons ketika B memukulnya, pun C mungkin akan tertawa ketika D melempar lelucon yang lucu. Bahkan ada yang bilang, dia tidak akan menggigit kalau tidak digigit duluan.

Bagaimana kita memperlakukan orang lain, kira-kira begitulah orang lain memperlakukan kita. Lalu mengapa begitu banyak orang mengeluh karena orang-orang di sekitarnya tidak sebaik yang dia harapkan? Salah lingkungannya kah? Atau justru sebenarnya dirinya yang tidak menyadari kesalahannya sendiri sehingga seakan-akan seisi dunia memusuhinya? *lebai mode*

Saya terkadang terlalu cepat mencap seseorang itu menyebalkan, padahal mungkin saat itu diri saya yang salah karena tidak bersikap ramah padanya. Ya, seringkali, saya melihat orang mudah menjadi sebal karena sikap orang lain kepada dirinya, yang sebenarnya merupakan respons dari sikapnya terhadap orang tersebut. Jadi, sebelum menuduh orang lain yang salah atau menyebalkan, mengapa kita tidak bercermin dulu? Melihat apakah faktor yang salah itu pada diri kita, atau memang dirinya yang menyebalkan?

Kalapun memang orang tersebut yang menyebalkan, mengapa kita tidak mencoba bersikap baik lebih dulu kepada dirinya? Saya percaya kebaikan itu memiliki sifat kohesif yang kuat, dia akan menarik kebaikan-kebaikan yang lain, begitu ia mulai diteteskan. Lagipula, bukankah kebanyakan orang di dunia ini berjiwa bisnis? Seberapa yang kamu beri, sebesar itulah yang akan kamu dapat.

-Mencoba memulai hari dengan kebaikan yang sederhana, sebuah senyum tulus-

Tuesday, June 15, 2010

Logika dan Spiritualitas

Mengapa religiusitas seseorang dinilai akan mempengaruhi logikanya? Apakah seseorang yang religius hanya akan berdoa sepanjang hari untuk menghasilkan materi di depan mata? Saya kira religiusitas seseorang bukan alasan untuk menjadi tidak logis.

Saya kira sangat logis ketika seseorang percaya dan yakin bahwa Tuhannya akan menyelamatkannya. Saya kira tidak ada yang salah ketika seseorang dalam kesulitan, kesesakan yang teramat sangat, memohon bantuan pada Tuhannya. Saya kira semua agama meyakini bahwa Dia menyayangi umat-Nya dan menyediakan pertolongan bagi mereka yang berseru kepada-Nya. Lalu mengapa harus mengatakan orang-orang yang religius tidak mampu melihat realitas?

Jika ada seseorang yang berseru memohon pertolongan Tuhan, namun dia tidak melakukan usaha apapun; baiklah saya akan mengatakan dia pemalas. Ketika seseorang tidak mau berobat walaupun memiliki uang untuk pergi ke dokter dan mendapat pengobatan terbaik sementara dia justru makin merusak kesehatan dirinya dengan mengharapkan mukjizat Tuhan yang akan menyembuhkannya; baiklah saya katakan dia tidak realistis karena menyia-nyiakan apa yang sudah disediakan Tuhan baginya.

Namun, sungguh, saya tidak mengerti mengapa seseorang harus menghubungkan religiusitas seseorang dengan kemampuan orang tersebut melihat realita hidup. Mungkin uang sudah menjadi tuhan baru dalam dunia modern ini. Tapi layakkah segalanya diukur dengan uang? Layakkah kemampuan melihat realita hidup diukur dengan seberapa banyak uang yang mampu dihasilkan?

Saya percaya bahwa Dia Yang Di Atas itu tidak pernah tidur. Dia melihat tiap-tiap orang dan usahanya. Mungkin yang hidupnya lurus di mata-Nya dan bekerja sepenuh hati bergaji pas-pasan. Sementara mereka yang menipu dan melakukan korupsi hidup bergelimang harta. Apakah ini berarti kelompok yang pertama tidak realistis? Apakah ketika kita tetap bekerja dengan sepenuh hati, hidup benar di mata-Nya, dan percaya bahwa Dia akan memelihara kita, berarti kita telah menjadi manusia yang tidak realistis?

Saya tahu bagaimana sulitnya hidup tanpa uang di zaman sekarang ini. Saya tahu bahwa uang hampir menjadi jawaban untuk menyelesaikan segala permasalahan di dunia ini. Ketika dunia menjadi makin tamak, makin culas, makin kejam, uang adalah solusi yang tercepat. Namun layakkah hal itu menjadikan uang sebagai tuhan baru bagi manusia modern?

Dia memiliki cara-Nya sendiri. Pertolongan-Nya tak pernah terlambat. Namun, maukah kita bertahan dalam pengharapan kepada-Nya? Maukah kita tetap setia pada iman dan berserah kepada-Nya? Atau justru mengikuti arus dan memuja tuhan-tuhan baru yang menjanjikan kemudahan duniawi?

Iman adalah mempercayai adanya terang ketika berada dalam kegelapan (lupa dikutip dari mana).

Tuhan, mampukan saya tetap menaruh pengharapan kepada-Mu, berserah pada-Mu saja dan tidak menjadi hamba-hamba uang. Didiklah saya agar tetap setia ketika berada dalam kesukaran, ketika dalam kebahagiaan, bahkan ketika merasa doa-doa saya tidak Engkau dengar. Ajar saya, Tuhan, untuk selalu mencari terang-Mu. Amien.

Saturday, April 3, 2010

Toleransi

Toleransi, sebuah kata yang sudah sering didengungkan sejak di bangku SD. Masih ingatkah bagian dari pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) ataupun PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) yang menekankan perlunya toleransi antar umat beragama? Berapa banyakkah yang masih ingat?

Saya ingin membuat Bonek-bonek yang bertebaran di jalan raya tadi untuk belajar pada anak SD tentang apa itu toleransi. Bagaimana mereka harus bersikap sebagai manusia dewasa yang memiliki toleransi. Bagimana mereka harus menggunakan hak tanpa mengganggu kepentingan orang lain.

Saya sangat jengkel pada Bonek yang bertebaran di Surabaya hari ini. Ketika jam misa akan dimulai, Bonek-Bonek itu dengan sengaja mengeraskan suara mesin motornya. Belum lagi mereka yang membawa terompet, meniupnya beberapa kali. Bahkan beberapa dengan sengaja meneriakkan ********** ketika melewati gereja.

Begitukah cara mereka meluapkan dukungan? Baiklah mereka bersemangat mendukung team sepakbolanya, tapi tidak bisakah mereka bersikap lebih dewasa? Bagaimana rasanya jika keramaian itu dipindahkan di tempat mereka beribadah, ketika mereka sedang merayakan hari besar agamanya?

Mungkin masyarakat ini masih butuh belajar tentang toleransi lebih dalam lagi.
Selamat Paskah. Tuhan memberkati...